Pinus Sitanggang : Jangan Lagi Provokasi Petani dan Masyarakat Soal Tanah Adat
Lensamedan – Lembaga Swadaya Masyarat (LSM) yang
selama ini banyak beraktivitas di kawasan Danau Toba dihimbau tidak lagi
melakukan provokasi kepada para petani dan masyarakat dengan isu tanah adat.
Harapan tersebut disampaikan Ketua Kelompok Tani binaan LSM Pinus
Sitanggang, setelah melihat kondisi
masyarakat dan petani desa Natumingka Kecamatan Bobor, Kabupaten Toba, yang
berselisih paham dengan perusahan pulp PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL).
“Menurut saya, jangan lagi melakukan provokasi yang
merugikan kepada petani dan masyarakat, isu tanah adat yang selalu dibawa
hasilnya tidak pernah selesai dan tuntas. Cukuplah saya yang merasakan kerugian
ini,” ungkap Pinus Sitanggang kepada media, Selasa (15/6/2021).
Pinus mengatakan, Hampir 10 tahun mereka didampingi
LSM, dengan isu yang diangkat selalu soal tanah adat.
“Tetapi tidak pernah tuntas hasilnya. Masyarakat yang
akhirnya selalu menjadi korban, bahkan dengan sengaja dibentrokkan kepada pihak
swasta yakni TPL,” katanya.
Pinus Sitanggang mengaku, tahun 2009 adalah awal mula
dirinya membentuk Kelompok Tani Hutan Marsada, Desa Simataniari Kecamatan
Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).
Saat itu kelompok tani mereka didampingi oleh pihak
ketiga yakni LSM. Menurutnya kelompok tani hutan dibentuk untuk mempertahankan
tanah adat tanpa bukti kepemilikan lahan yang sah.
Isu soal tanah adat menurut Pinus memang menjadi fokus
kedua LSM tersebut. Hanya dengan mengandalkan bukti dari peninggalan eks
tanaman secara turun temurun, petani dan masyarakat diajak untuk melakukan
penolakan kehadiran perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI)
dalam hal ini TPL, dan berakhir dengan konflik.
Bahkan pada
tahun 2016 atas arahan dari LSM pendamping, Pinus Sitanggang dan kelompok tani
yang dibentuknya pernah memberikan sejumlah berkas kepada Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLH), namun hasilnya belum dapat dipenuhi.
Kemudian tahun 2018 dipanggil kembali untuk menerima
Surat Kepemilikan lahan tanah adat, ternyata itu hanya kabar bohong untuk
menyenangkan hati para petani.
“Kami pernah dipanggil lagi ke Jakarta oleh Kementerian
LHK untuk membahas penyelesaian konflik masyarakat mengenai tanah adat. Ada
sekitar 5 komunitas petani yang dihadirkan. Namun anehnya pada pertemuan
tersebut tidak ada yang membahas tentang permasalahan tanah adat desa kami,”
terangnya.
Atas dasar itulah kata Pinus, ia akhirnya memutuskan
untuk keluar dari pendampingan, karena hanya membuang waktu, tenaga dan biaya.
“Pada dasarnya prinsip kami para petani adalah dapat
menjalani hidup dengan baik dan benar, bukan dengan cara kekerasan dan konflik
yang berkepanjangan,” tegasnya.
Menurutnya konflik antara masyarakat dan perusahaan
tidak akan terjadi, bila tidak diboncengi oleh pihak tertentu yang memiliki
kepentingan.
Pinus mengatakan, lebih baik bekerjasama dengan pihak
swasta, dalam upaya peningkatan perekonomian para petani dan masyarakat, serta
tidak melangar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
“Sudah dua tahun belakang ini saya dan kelompok tani
saling menjali kerjasama dengan TPL, bantuan pembibitan cabai, kemenyan dan
dukungan pertanian selalu diberikan oleh perusahaan dalam bentuk pendampingan
dan mitra program pertanian perusahaan. Semua
hasil pertanian adalah milik para petani, dan perusahaan tidak pernah mengambil
hasilnya, apalagi sampai mengambil tanah milik masyarakat,” katanya.
Dalam percakapan singkat dan padat tersebut, Pinus
Sitanggang hanya berharap kepada masyarakat untuk tidak melawan hukum dan
menjalin kerjasama kemitraan pertanian.
“Hasilnya dapat dilihat dari pengalaman dua tahun
Kelompok Tani Hutan Marsada. Dan saya juga berharap perusahaan TPL dapat lebih
meningkatkan dukungannya kepada para petani, terutama yang berdekatan dengan
operasional perusahaan,” pungkasnya. (*)
(Humbahas)
Belum ada Komentar untuk "Pinus Sitanggang : Jangan Lagi Provokasi Petani dan Masyarakat Soal Tanah Adat "
Posting Komentar