Setelah Hampir 2 Tahun, Akhirnya Terungkap Tuduhan Penganiayaan yang Dilakukan Humas TPL Hasil Rekayasa
Lensamedan - Kasus pengaduan aksi kriminalitas pada anak dibawah umur yang terjadi pada tanggal 16 September 2019, di Nagori Sipahoras Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun, yang dituduhkan pada Humas PT Toba Pulp Lestari (TPL) Sektor Aek Nauli saat itu, Bahara Sibuea ternyata rekayasa alias palsu.
Kasus pemukulan terhadap anak di bawah umur yang dialami bocah
laki-laki usia 4 tahun sempat booming ke publik setelah pemberitaan media
cetak, elektronik dan digital.
Bahkan, memicu kemarahan berbagai pihak yang bersimpati dengan
korban dan perjuangan warga Pematang Sidamanik dalam merebut tanah konsesi TPL
oleh keturunan Ompu Mamontang Laut. Sampai-sampai Ketua Komnas Perlindungan
Anak Arist Merdeka Sirait beri komentar kecaman untuk segera menangkap
pelakunya.
Kasusnya dikabarkan juga sempat bergulir ke ranah hukum melalui
pengaduan orangtuanya ke pihak kepolisian setempat.
Setelah hampir dua tahun, akhirnya fakta peristiwa dugaan
kekerasan terhadap anak dibawah umur terkuak ke publik secara mengejutkan.
Sang ayah korban bernama Marudut Ambarita (33) membawa anaknya MTA
(korban) dan didampingi istrinya Verawati Silalahi membeberkan fakta sebenarnya
kepada awak media.
Saat dikonfirmasi di Parapat, Kamis, 16 Juni 2021, Marudut
Ambarita mengaku, kasus dan berita kekerasan terhadap anaknya MTA adalah
bohong, sengaja direkayasa.
Pria berusia 33 tahun itu bercerita kejadian yang sebenarnya
terjadi pada 16 September 2019, di konsesi HTI perusahaan PT Toba Pulp Lestari
(TPL), Tbk tepatnya Nagori Sipahoras.
“Pada saat itu saya bersama anaknya berada di lokasi TPL kurang
lebih jam 09.00 WIB pagi. Kami menanam jagung lalu datanglah Humas TPL Bapak
Bahara Sibuea ke lokasi. Di situ terjadi perbincangan mengenai lahan tersebut,
mereka (TPL) melarang masyarakat agar jangan menanam jagung, tapi masyarakat
tetap menanam jagung,” ujarnya.
Larangan dari Bahara Sibuea justru memicu amarah warga, sehingga
terjadi keributan dan bentrok pun tidak bisa dihindari lagi.
Saat terjadi bentrok, ujar Marudut, dirinya yang membawa anak
menjauh dari lokasi sekitar 15 meter dengan tujuan, agar terhindar dari
pemukulan.
“Terjadilah bentrok sekitar pukul 11.00 WIB. Kami (saya dan anak)
lari dari lokasi bentrok tersebut sekitar 15 meter, agar tidak kena bentrokan
pada anak saya. Selesai bentrok, kami pun pulang ke kampung. Saya bonceng anak
saya, tapi bukan ke rumah melainkan dibawa dibawa oleh Pimpinan LSM LA ke rumah
tukang obat, lalu dibuatlah sirih ke punggung anak saya,” bebernya.
Ia mengaku tidak mengetahui maksud atau tujuan diberikan obat
tersebut kepada anaknya. Si tukang. obat terlihat menyemburkan air sirih
berwarna merah darah yang dikunyahnya ke bagian punggung MTA, agar terkesan
seperti lebam akibat luka pukul.
“Kata ompung yang masuk ke badannya, inilah kita buat
alatnya, anakmu (MTA), biar kita bisa menang, biar jangan dipenjarakan kita
warga kampung ini semua,” sebut Marudut.
Keesokan harinya, dia diminta pimpinan lembaga itu untuk
melaporkan ke polisi bahwa anak Marudut ini dipukul Humas TPL.
Dia pun pergi ke Polsek Sidamanik untuk melaporkan kejadian
tersebut, tapi Polsek Sidamanik tidak mau menerima dan meminta mereka untuk
terlebih dahulu melakukan visum.
“Saat dibawa visum, ternyata tidak ada hasil visumnya. Keesokan
harinya kami diminta untuk pergi ke Polres Simalungun untuk melaporkan kasus
pemukulan terhadap anak saya MTA. Mereka mengajari bagaimana kronologinya,
bagaimana pelaporan agar kasus MTA ini ditanggapi Polisi,” aku marusut.
Sampai di Polres Simalungun, Marudut pun bingung saat ditanyai
polisi, karena laporan penganiayaan itu tidaklah benar.
“Sebenarnya MTA itu tidak ada dipukul Humas TPL. Saat diproses
kepolisian, saya sangat takut karena pengaduan saya itu bohong,” terangnya.
Sesudah Marudut melaporkan kasus pemukulan MTA ke Polres
Simalungun, dua hari kemudian Marudut dipanggil polisi. Ia mengaku tidak mau
menghadiri panggilan karena menyadari telah membuat laporan palsu.
“Saya tidak mau lagi datang karena berita tentang anak saya MTA
itu bohong, itu tipuan, saya disuruh. Dibuat kami ibaratnya jadi alat untuk
lembaga tersebut. Kalau kami tidak mau mengikuti omongan mereka itu, kami
dibenci, dikeluarkan dari kampung dan dari serikat,” katanya lagi.
Kekhawatiran dan rasa bersalahnya semakin menjadi, bahkan saat
panggilan kedua dari Polisi lewat telpon datang,
Marudut pun semakin takut dan memilih melarikan diri ke Jambi.
Selama di Jambi, ia merenungi kesalahan yang mengatakan hal tidak
benar dan berbohong kepada semuanya termasuk kepada polisi.
“Saya pun berbohong karena dorongan lembaga tersebut, dipaksa
orang itu. Sampai di Jambi saya merenungi dan memberitahu istri saya bahwa
laporan itu tidak benar, itu semua rekayasa, itu semua tulisan bohong dan saya
diajari,” kisahnya.
Satu tahun tiga bulan, Marudut tinggal di Jambi dengan rasa
bersalah dan rindu yang luar biasa terhadap istri dan anaknya.
Ia akhirnya mengumpulkan keberanian diri untuk kembali ke
kampungnya Pematang Sidamanik. Ia paham betul akan konsekuensi yang akan
diterima saat pulang ke desa.
“Saya menyadari bahwa pengaduanku itu salah dan tidak benar. Lalu
saya berniat untuk pulang dan memberanikan diri untuk mengatakan yang
sebenarnya. Saya akan sampaikan yang sebenarnya kepada polisi dan penyidik
bahwa laporan saya itu palsu. Seperti itulah cerita masalah di 16 September
2019,” ungkapnya.
Tiba di desa, semua yang dibayangkannya benar terjadi, dia dan
keluarga besarnya merasakan rasa sakit mendalam terlebih saat salah satu media
terang-terangan menjual berita mengenai pemukulan anaknya yang faktanya hanya
rekayasa belaka.
Atas pengakuan palsunya itu, ia dengan tegas meminta maaf kepada
seluruh media yang turut memberitakan berita bohong tersebut.
“Kenapa saya mau memberikan keterangan palsu, karena di kampung
itu kalau saya tidak ikut di lembaga itu, saya dibenci. Bahkan sejak saya
pulang awal 2021 hingga sekarang saya dibenci, saya diejek, sakit perasaan
saya,” pungkasnya.
Sang istri Verawati Silalahi juga angkat bicara. Ia mengakui,
gegara pengaduan palsu tersebut selama setahun tiga minggu, dirinya beserta
tiga orang anaknya ditinggal suami.
"Saya dan tiga orang anak ditinggal selama setahun tiga
minggu," ucapnya . (*)
(Simalungun)
Belum ada Komentar untuk "Setelah Hampir 2 Tahun, Akhirnya Terungkap Tuduhan Penganiayaan yang Dilakukan Humas TPL Hasil Rekayasa "
Posting Komentar