Bisakah Jurnalis Bersikap Merdeka dalam Pilpres?
Lensamedan - Aliansi Jurnalis Video (AJV) melantik Chandra Nazirun (Ketua Umum), Dr. Rully Nasrullah (Sekjen), Puput Nurmawarni (Bendahara Umum) sebagai Pengurus Pusat AJV periode 2023-2026 di Hotel Amaris, Pancoran Jakarta Selatan (11/11) yang dilantik oleh Dewan Pengawas Erland Hidayat.
Gilang Iskandar selaku Dewan Pembina AJV dalam sambutannya, berharap pengurus baru AJV dapat melakukan hal yang terbaik untuk organisasi juga dapat mencerahkan bangsa dan negara.
“Ini tidak mudah, tetapi dengan kekompakan, kita yakin bisa melangkah ke arah lebih baik!” ungkap Gilang.
Sebelum acara pelantikan yang ditayangkan pula via Instagram dan YouTube tersebut dilaksanakan pula diskusi publik bertajuk “Menguak Pengaruh Jurnalis Merdeka Dalam Pilpres 2024 dengan narasumber Prof. Dr. Ibnu Hamad (Guru Besar Komunikasi UI), BivitriSusanti SH. L.LM (Ahli Hukum Tata Negara PSHK), H.N Jusuf Rizal (Ketua Umum PWMOI), Nugroho Fery Yudho (Jurnalis Senior) dengan host Maula Isnarto ((Jurnalis Senior RRI).
Jurnalis Tidak Merdeka
“Secara normatif, dari dulu sampai hari ini wartawan tidak boleh berpihak ke manapun. Namun, sekarang ini wartawan lebih takut kepada pemilik media ketimbang kepada ayah dan Ibunya, bahkan kepada Tuhannya!” begitu pendapat Prof Dr. Ibnu Hamad, Guru Besar Komunikasi UI saat diminta pendapatnya tentang peran wartawan di tengah situasi Pilpres 2024.
Ini bukan fenomena baru di Indonesia, tapi juga terjadi di seluruh dunia. Karena sekarang ini luar negeri juga begitu. Prof Dr Ibnu melihat, jika kemerdekaan tidak ada pada pemiliki media, maka harus ada pada konsumen atau pemakai media.
“Sebagai pembaca atau penonton, kita yang harus merdeka. Makanya, silahkan konsumsi semua berita yang ada. Mau lewat berita podcast, mau sosial media, mau dari berita online. Dan jadilah pembaca yang merdeka!” sebutnya.
Prof. Dr. Ibnu juga melihat fakta di lapangan yang menunjukan, bahwa di dunia industri media di Indonesia banyak pemilik media yang terlibat politik.
“Bahkan banyak teman-teman wartawan yang menjadi tim sukses. Ini kan jauh dari peran jurnalis yang merdeka!” ucap Prof. Dr. Ibnu.
Dengan kondisi ini, Prof Ibnu melihat keadilan jurnalisme semakin tidak berlaku di media di Indonesia, bahkan soal keadilan ini tidak diatur dalam kode etik manapun di lndonesia.
“Bayangkan, pada satu media tertentu bisa memuat headline dari tokoh yang itu-itu saja selama berhari-hari, dan pilihan narasumber juga nama yang sama. Yang muncul lue lagi… lue Lagi. Sebaiknya, kalau bicara soal keadilan dan kemerdekaan, maka untuk Pilpres mendatang misalnya, sebaiknya dibuat jurnal pemilu. Di mana setiap kontestan bisa dimuat secara merata untuk pemuatan cetak dan online, maupun dalam durasi pemberitaan video,” ujarnya
Jurnalisme Warga Dikutip Mainstream
Sementara itu Nugroho Fery Yudho (Jurnalis Senior Kompas) mengakui banyak yang berubah dari industry media belakangan ini. Zaman tahun 1980-an, pemimpin dan pemilik media rata-rata berprofesi sebagai jurnalis. Sebut saja BM Diah, Yacob Utama dan Harmoko, misalnya.
“Sekarang ini, setiap orang bisa jadi pemimpin redaksi. Dan bikin kartu nama sebagai wartawan. Sehingga, kesadaran dan kemandirian pers tidak sebesar dulu,” kata Nugroho.
Perkembangan sosial media yang dengan sangat cepat, menurut Nugroho juga melahirkan setiap orang menjadi wartawan. Dan kemudian muncul pula istilah jurnalisme warga. “Di mana setiap orang bisa merekam sebuah peristiwa dan menyebarkannya,” kata Nugroho.
Namun, sayangnya dengan keterbatasan pengetahuan, mereka membuat berita tanpa dasar yang jelas seperti layaknya wartawan menulis berita, dengan patokan rumusan wartawan menulis berita yang harus memuat 5 W .
“Di sinilah muncullah istilah berita hoax, dan kebanyakan dibuat oleh pelajar dan mahasiswa. Awalnya, mereka tidak menyadari apa yang dibuat itu sebagai berita hoax. Mereka membuat berita tidak lengkap asal usulnya!” ucapnya.
Nugroho menyebut bersama AJV, ia kemudian masuk ke berbagai sekolah dan kampus, untuk memperkenalkan pola penulisan berita yang benar.
Dalam jangka panjang, Nugroho melihat jusrnalistik mainstream, harus bisa belajar dari pola jurnalisme warga. “Jujur saja, sekarang kondisinya terbalik. Banyak media mainstream belakangan ini yang mengambil (bahan) dari jurnalisme warga yang tersebar di sosial media. Ini harusnya membuat kita sadar, dan tidak berlebihan. Jangan juga membuat persyarat macam-macam. Seperti ujian kompetensi watawan yang tidak jelas!” katanya di tengah sekitar lebih dari 100 peserta diskusi, di antaranya 21 Mahasiswa BSI jurusan Broadscast.
Jujur dan Adil
Sementara itu Yusuf Rizal, Wartawan Senior, Ketua Umum PWMOI sekarang ini tidak ada kemerdekaan bagi wartawan dan sikap wartawan sekarang ini lebih nanyak memperhtungkan bagaiamana mendapat cuan.
“Di atas semua itu, kepentingan politik para pemilik media, menjadi dominan. Dan ini mengurangi kemerdekaan dalam melihat dan menyajikan informasi secara jujur dan adil (Jurdil).” kata Yusuf.
Dalam konteks pilpres , di lapangan wartawan dan pemilik media faktanya sudah terkotak-kotak.
“Harapan kita wartawan bisa kembali ke khitohnya, yang punya idealis tapi realistis!” harapnya.
Sedangkan Bivitri Susanti SH menyebut peran media harus ditempatkan kembali secara jujur dan adil dalam mengawasi pilpres mendatang. “Misalnya, kita tahu sekarang ini, meski ada KPU, Bawaslu, Panwaslu, banyak poster dan baliho dari pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang sudah bertebaran, meski belum masuk masa kampanye. Dan media mestinya harus bisa menyikapi kondisi ini!”
Sementara itu, dalam kaitan dengan profesi wartawan di AJV, Bivitri mengusulkan harus ada self regulation yang mengatur para anggota.
"Agar wartawan AJV bisa bekerja lebih professional dan mandiri, sehingga free and fair election dalam Pilpres bisa diterapkan,“ ujar Bivitri.
(Jakarta)
Belum ada Komentar untuk "Bisakah Jurnalis Bersikap Merdeka dalam Pilpres?"
Posting Komentar